Berkat perjuangan yang gigih, Andy sempat mengenyam pendidikan hingga
bangku Perguruan Tinggi, namun tidak sempat tuntas karena tidak ada
biaya. Jangankan untuk membeli buku, untuk makan saja dia susah.
Nafsu untuk memiliki dan membaca buku sebanyak-banyaknya menggebu-gebu
dalam dirinya. Apa boleh buat, daya belinya sangat lemah. Lantas apa
yang ia lakukan? “Kadang ada kawan yang berbaik hati memfotokopi buku
buat saya. Ada teman yang baik sekali. Ada juga yang meminjami saya
buku. Kalau tidak, saya pergi ke Perpustakaan Soemantri Brojonegoro di
Kawasan Kuningan untuk menyalin isi buku. Kebayang kan? Tangan saya
sampai pegal. Penguruss perpust tawarin jasa foto kopi, tapi saya tolak
karena tak punya uang,” jelas Andy ketika dijumpai di runag kerjanya.
Akibat kemiskinan yang membelit, Andy harus menunggu selama tiga bulan
untuk bisa memiliki satu buah buku yang ia inginkan. “Saya harus
menabung selama tiga bulan. Susah sekali,” ungkapnya lagi. Begitu
jarangnya dia bisa membeli dan memiliki buku, hingga kini dia masih
ingat buku paling mahal yang pernah ia miliki, yakni, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) dan buku 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia. Begitu susahnya dia mendapatkan buku, Andy lalu menganyam “dendam”.
Dia memancangkan niat, jika suatu waktu telah memiliki kemampuan
membeli buku dia akan membeli buku sebanyak-banyaknya dan membagi-bagi
buku kepada banyak orang. Eksekusi terhadap dendam ini seringkali
membuat istrinya heran dan bingung. Balas dendamnya semakin menemui
momentnya melalui acara Kick Andy. Di acara itu dia berhasil membagi
ratusan buah buku secara gratis. Andy menyadari bahwa buku yang baik
akan memberi sumbangan sangat berarti bagi perkembangan kualitas
seseorang.
Karena melalui Kick Andy dia bisa melakukan banyak hal yang berguna
bagi banyak orang termasuk mencerdaskan melalui buku, dia menyebut KA
yang “hanya” bagian kecil dari Metro TV itu sebagai pencapaian
tertingginya.
Bukankah dia telah pernah menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV, Pemimpin
Redaksi Harian Umum Media Indonesia dan juga pernah bekerja pada
beberapa stasiun televisi dan majalah terkemuka di tanah air? Terhadap
berondongan pertanyaan tersebut, ayah tiga anak ini mengatakan bahwa di
Kick Andy dia menemukan kecocokan karakter jiwanya. “Saya bahagia bisa
membuat orang lain bahagia,” jelasnya.
Dia merasa puas ketika KA bisa berbuat lebih dari sekadar program.
Banyak orang memandang dan merasakan Kick Andy merupakan program yang
memberikan Inspirasi. Pada saat menampilkan beberapa tayangan misalnya,
banyak orang tergugah dan bersedia membantu narasumber. Sejumlah
penerbit pun menyatakan kesediaan mendukung program bagi-bagi buku
gratis.
Nafsu Andy untuk melakukan “balas dendam” kian hari kian menemukan
kesempatan tepat. Saat ini, bersama produsen minuman ringan, Kick Andy
sedang melakukan gerakan Satu Hati Cerdaskan Bangsa. Produsen tsebut
sudah mencairkan sejumlah dana yang akan dialokasikan untuk membeli
buku dan membangun perpustakaan bagi sekolah-sekolah yang membutuhkan.
“Inilah pencapaian tertinggi dari kehidupanku. Makanya aku mundur dari
Pemimpin Redaksi Metro TV. Aku ingin fokus mengerjakan sesuatu yang
membuat aku merasa berguna dalam hidupku,” jelas Andy sekali lagi di
ruang kerjanya.
Sebagai seorang profesional, Andy mengaku pasti puas ketika duduk sebagai pemimpin redaksi. Ada power
yang luar biasa dia miliki. “Orang akan melihat Andy Noya dengan
kekuatan redaksi. Tapi aku bertanya pada diri sendiri, apa sih yang aku
cari dalam kehidupan ini? Kepuasan semu semacam itu atau kepuasan
batin?” tanyanya retoris.
Lantas, di mana kecocokan karakter Kick Andy dengan dirinya? Andi F.
Noya lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ia anak bungsu dari
lima bersaudara. Ayahnya “hanya” seorang tukang service mesin ketik,
sehingga sangat bisa dipastikan penghasilannya sangat kecil. Model
kerja ayahnya adalah mendatangi kantor-kantor pemerintah untuk
menawarkan jasa service mesin ketik. Dari pekerjaan itulah dia
membiayai hidup keluarganya. Bisa dibayangkan, tidak setiap saat ada
mesin ketik yang rusak sehingga jasanya diperlukan. Di saat-saat
semacam inilah ekonomi keluarga Pak Noya megap-megap.
Menyadari keterbatasan tersebut, Noya pun tidak bermimpi menyekolahkan
anak-anaknya tinggi-tinggi, apalagi ke sekolah atau universitas
favorit. Andy pun, setamatnya dari SD diarahkan untuk masuk Sekolah
Teknik. Dan tentu saja kemudian berlanjut ke STM. Ia tahu bahwa
kemampuannya tidak akan mampu mengantar Andy ke universitas.
Prinsipnya, setelah tamat STM bisa langsung bekerja.
Di STM Andy belajar dengan sangat sungguh-sungguh. Inilah bentuk
apresiasinya terhadap kerja keras sang ayah yang dia nilai sangat setia
pada pekerjaan dan penuh tanggungjawab.
Bahwa Andy belajar dengan sungguh-sungguh di bangku STM, ya! Tapi
sementara itu, sebenarnya dia tidak begitu cocok dengan pelajaran di
STM. Dia lebih merasa mantap dengan dunia tulis menulis. Sejak kecil
dia sudah menunjukkan bakat menulis. Pada pelajaran mengarang dan
menggambar dia selalu mendapat nilai tinggi sehingga gurunya
mengatakan, “Andy Noya, kamu cocoknya sekoalah wartawan nanti.”
Karena situasi di atas, sambil sekolah, dia menulis dan mengirinkan
karikaturnya di beberapa majalah. Cerpen dan karikaturnya mulai dimuat
di beberapa majalah. Puisi-puisinya mulai dibacakan di radio. Hal ini
menambah keyakinannya bahwa minatnya adalah dunia tulis menulis.
Pilihan paling sulit dan ternyata sangat menentukan dalam hidupnya
adalah ketika tamat STM. Berkat ketekunannya belajar, dia lulus sebagai
lulusan terbaik dari STM 6 Kramat, Jakarta. Atas prestasi itu, dia
berhak atas beasiswa di IKIP Padang. Rupanya panggilan untuk menjadi
wartawan jauh lebih kuat daripada menjadi guru.
Dia lalu memilih masuk publisistik, meski dengan begitu dia memberi
beban kepada kakaknya karena harus membiayai. Sambil kuliah, dia tetap
rajin menulis ke berbagai media sambil juga menggambar, membuat
kartu-kartu ucapan. Jika masa Natal, Lebaran atau tahun baru tiba, Andy
boleh dikatakan panen order. Tapi kalau lagi sepi ya, sepi. Dengan
begitu dia harus berusaha bisa hidup dengan uang Rp. 5.000/minggu yang
dia dapat dari kakaknya.
Tidak ada pilihan lain selain harus hidup super irit agar uang tersebut
cukup. Dia antara lain mencoba sebuah “strategi unik”. Ketika ke
kampus, dengan rambut kribonya yang berantakan, dia mengenakan celana
jeans sobek-sobek, sepatu kets butut, jaket jeans lusuh dan kaos oblong
di dalam. Penampilan ini dia maksudkan sebagai psy war dengan
kondektur. “Dengan penampilan yang agak sangar, kalau aku bisa gertak
kondektur aku tak bayar ongkos. Tapi kalau dia berhasil gertak aku, aku
harus turun dan tunggu bus lagi,” ungkap Andy seakan sedang memutar
kembali perjalanan hidupnya yang terbilang sulit itu.
Keadaan mulai membaik ketika suatu hari dia mengantar seorang temannya
ikut seleksi menjadi reporter buku “Apa Siapa” terbitan Grafiti. Dia
yang tadinya tidak berencana ikut seleksi lalu mencoba ikut juga. Lalu
karena waktu yang sangat mepet, dia disuruh praktik mewawancarai orang
dalam Grafiti. Di sini dia tunjuk aksi. Hasil wawancara tersebut
langsung dia olah di tempat seleksi dan menyerahkan hari itu juga. Apa
yang terjadi? Tepat tanggal 6 November yang juga adalah hari ulang
tahunnya, dia mendapat surat bahwa dia diterima. Bahkan kemudian
menjadi reporter yang sangat agresif dan andal. Selain menjadi
reporter, dia diminta untuk menulis hasil reportase reporter-reporter
yang lain.
Karena prestasi kerjanya, ia ditarik masuk TEMPO, kemudian ke MATRA,
lalu ke Media Indonesia dan Metro TV. Yang menarik ketika harus memilih
masuk di TEMPO yang saat itu namanya sudah besar atau masuk ke Harian
Bisnis Indonesia yang juga satu grup dengan Tempo. Dia memilih Bisnis
Indonesia. “Waktu itu nama TEMPO dah terlalu besar. Kalau saya telepon
orang dan sebuat nama Andy Noya, ditanya balik siapa Andy Noya? Kalau
bilang Majalah TEMPO, langsung bilang o iya, silahkan. Begitu di Bisnis
Indonesia saya telepon, saya bilang Andi Noya. Ditanya siapa Andi
Noya? Saya bilang dari Bisnis Indonesia. Lalu pertanyaan lanjutan,
perusahaan apa itu? Artinya, sama-sama tidak eksis…. jadi minimal aku
lebih dikenallah daripada perusahaan. Aku pilih Bisnis Indonesia karena
lebih menantang jadi aku pilih bisnis indonesia,” kenangnya sambil
tertawa.
Sekali lagi, di mana kecocokan karakter itu? Andy merasa perjuangan
hidupnya berat. Lalu ketika melalui Kick Andy dia bisa ikut mendampingi
orang-orang yang hidupnya berat dan kemudian bisa kembali menemukan
nilai hidup, di situ Andy menemukan kebahagiaan yang luar biasa. Ketika
dia masih kuliah, tangannya sampai pegal menyalin isi buku karena tidak
mampu membeli. Kini dengan kemudahan-kemudahan yang ia peroleh, dia
bisa membagi-bagi buku secara gratis. Inilah karakter yang dimaksud
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar