Kamis, 03 Mei 2012

”Balas Dendam” ala Andy F. Noya

Lahir dan tumbuh dalam keluarga yang serba berkekurangan sebenarnya telah menjadi “alasan yang cukup kuat” bagi Andy Flores Noya untuk menyerah dan menerima nasib apa adanya. Beruntung Andy tidak sudi tunduk pada situasi itu. Berbekal bakat menulis dan menggambar yang ia miliki sejak SD dan ditambah motivasi seadanya dari gurunya sewaktu di bangku SD yang mengatakan bahwa dirinya berbakat menjadi wartawan dilihat dari karangannya, dia terobsesi menjadi wartawan. Obsesi ini kemudian menjadi kenyataan. Kini dia menjadi salah seorang wartawan yang sangat populer di tanah air, terutama melalui acara Kick Andy di Metro TV.
Berkat perjuangan yang gigih, Andy sempat mengenyam pendidikan hingga bangku Perguruan Tinggi, namun tidak sempat tuntas karena tidak ada biaya. Jangankan untuk membeli buku, untuk makan saja dia susah.
Nafsu untuk memiliki dan membaca buku sebanyak-banyaknya menggebu-gebu dalam dirinya. Apa boleh buat, daya belinya sangat lemah. Lantas apa yang ia lakukan? “Kadang ada kawan yang berbaik hati memfotokopi buku buat saya. Ada teman yang baik sekali. Ada juga yang meminjami saya buku. Kalau tidak, saya pergi ke Perpustakaan Soemantri Brojonegoro di Kawasan Kuningan untuk menyalin isi buku. Kebayang kan? Tangan saya sampai pegal. Penguruss perpust tawarin jasa foto kopi, tapi saya tolak karena tak punya uang,” jelas Andy ketika dijumpai di runag kerjanya.
Akibat kemiskinan yang membelit, Andy harus menunggu selama tiga bulan untuk bisa memiliki satu buah buku yang ia inginkan. “Saya harus menabung selama tiga bulan. Susah sekali,” ungkapnya lagi. Begitu jarangnya dia bisa membeli dan memiliki buku, hingga kini dia masih ingat buku paling mahal yang pernah ia miliki, yakni, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) dan buku 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia. Begitu susahnya dia mendapatkan buku, Andy lalu menganyam “dendam”.
Dia memancangkan niat, jika suatu waktu telah memiliki kemampuan membeli buku dia akan membeli buku sebanyak-banyaknya dan membagi-bagi buku kepada banyak orang. Eksekusi terhadap dendam ini seringkali membuat istrinya heran dan bingung. Balas dendamnya semakin menemui momentnya melalui acara Kick Andy. Di acara itu dia berhasil membagi ratusan buah buku secara gratis. Andy menyadari bahwa buku yang baik akan memberi sumbangan sangat berarti bagi perkembangan kualitas seseorang.
Karena melalui Kick Andy dia bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi banyak orang termasuk mencerdaskan melalui buku, dia menyebut KA yang “hanya” bagian kecil dari Metro TV itu sebagai pencapaian tertingginya.
Bukankah dia telah pernah menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV, Pemimpin Redaksi Harian Umum Media Indonesia dan juga pernah bekerja pada beberapa stasiun televisi dan majalah terkemuka di tanah air? Terhadap berondongan pertanyaan tersebut, ayah tiga anak ini mengatakan bahwa di Kick Andy dia menemukan kecocokan karakter jiwanya. “Saya bahagia bisa membuat orang lain bahagia,” jelasnya.
Dia merasa puas ketika KA bisa berbuat lebih dari sekadar program. Banyak orang memandang dan merasakan Kick Andy merupakan program yang memberikan Inspirasi. Pada saat menampilkan beberapa tayangan misalnya, banyak orang tergugah dan bersedia membantu narasumber. Sejumlah penerbit pun menyatakan kesediaan mendukung program bagi-bagi buku gratis.
Nafsu Andy untuk melakukan “balas dendam” kian hari kian menemukan kesempatan tepat. Saat ini, bersama produsen minuman ringan, Kick Andy sedang melakukan gerakan Satu Hati Cerdaskan Bangsa. Produsen tsebut sudah mencairkan sejumlah dana yang akan dialokasikan untuk membeli buku dan membangun perpustakaan bagi sekolah-sekolah yang membutuhkan. “Inilah pencapaian tertinggi dari kehidupanku. Makanya aku mundur dari Pemimpin Redaksi Metro TV. Aku ingin fokus mengerjakan sesuatu yang membuat aku merasa berguna dalam hidupku,” jelas Andy sekali lagi di ruang kerjanya.
Sebagai seorang profesional, Andy mengaku pasti puas ketika duduk sebagai pemimpin redaksi. Ada power yang luar biasa dia miliki. “Orang akan melihat Andy Noya dengan kekuatan redaksi. Tapi aku bertanya pada diri sendiri, apa sih yang aku cari dalam kehidupan ini? Kepuasan semu semacam itu atau kepuasan batin?” tanyanya retoris.
Lantas, di mana kecocokan karakter Kick Andy dengan dirinya? Andi F. Noya lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya “hanya” seorang tukang service mesin ketik, sehingga sangat bisa dipastikan penghasilannya sangat kecil. Model kerja ayahnya adalah mendatangi kantor-kantor pemerintah untuk menawarkan jasa service mesin ketik. Dari pekerjaan itulah dia membiayai hidup keluarganya. Bisa dibayangkan, tidak setiap saat ada mesin ketik yang rusak sehingga jasanya diperlukan. Di saat-saat semacam inilah ekonomi keluarga Pak Noya megap-megap.
Menyadari keterbatasan tersebut, Noya pun tidak bermimpi menyekolahkan anak-anaknya tinggi-tinggi, apalagi ke sekolah atau universitas favorit. Andy pun, setamatnya dari SD diarahkan untuk masuk Sekolah Teknik. Dan tentu saja kemudian berlanjut ke STM. Ia tahu bahwa kemampuannya tidak akan mampu mengantar Andy ke universitas. Prinsipnya, setelah tamat STM bisa langsung bekerja.
Di STM Andy belajar dengan sangat sungguh-sungguh. Inilah bentuk apresiasinya terhadap kerja keras sang ayah yang dia nilai sangat setia pada pekerjaan dan penuh tanggungjawab.
Bahwa Andy belajar dengan sungguh-sungguh di bangku STM, ya! Tapi sementara itu, sebenarnya dia tidak begitu cocok dengan pelajaran di STM. Dia lebih merasa mantap dengan dunia tulis menulis. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakat menulis. Pada pelajaran mengarang dan menggambar dia selalu mendapat nilai tinggi sehingga gurunya mengatakan, “Andy Noya, kamu cocoknya sekoalah wartawan nanti.”
Karena situasi di atas, sambil sekolah, dia menulis dan mengirinkan karikaturnya di beberapa majalah. Cerpen dan karikaturnya mulai dimuat di beberapa majalah. Puisi-puisinya mulai dibacakan di radio. Hal ini menambah keyakinannya bahwa minatnya adalah dunia tulis menulis.
Pilihan paling sulit dan ternyata sangat menentukan dalam hidupnya adalah ketika tamat STM. Berkat ketekunannya belajar, dia lulus sebagai lulusan terbaik dari STM 6 Kramat, Jakarta. Atas prestasi itu, dia berhak atas beasiswa di IKIP Padang. Rupanya panggilan untuk menjadi wartawan jauh lebih kuat daripada menjadi guru.
Dia lalu memilih masuk publisistik, meski dengan begitu dia memberi beban kepada kakaknya karena harus membiayai. Sambil kuliah, dia tetap rajin menulis ke berbagai media sambil juga menggambar, membuat kartu-kartu ucapan. Jika masa Natal, Lebaran atau tahun baru tiba, Andy boleh dikatakan panen order. Tapi kalau lagi sepi ya, sepi. Dengan begitu dia harus berusaha bisa hidup dengan uang Rp. 5.000/minggu yang dia dapat dari kakaknya.
Tidak ada pilihan lain selain harus hidup super irit agar uang tersebut cukup. Dia antara lain mencoba sebuah “strategi unik”. Ketika ke kampus, dengan rambut kribonya yang berantakan, dia mengenakan celana jeans sobek-sobek, sepatu kets butut, jaket jeans lusuh dan kaos oblong di dalam. Penampilan ini dia maksudkan sebagai psy war dengan kondektur. “Dengan penampilan yang agak sangar, kalau aku bisa gertak kondektur aku tak bayar ongkos. Tapi kalau dia berhasil gertak aku, aku harus turun dan tunggu bus lagi,” ungkap Andy seakan sedang memutar kembali perjalanan hidupnya yang terbilang sulit itu.
Keadaan mulai membaik ketika suatu hari dia mengantar seorang temannya ikut seleksi menjadi reporter buku “Apa Siapa” terbitan Grafiti. Dia yang tadinya tidak berencana ikut seleksi lalu mencoba ikut juga. Lalu karena waktu yang sangat mepet, dia disuruh praktik mewawancarai orang dalam Grafiti. Di sini dia tunjuk aksi. Hasil wawancara tersebut langsung dia olah di tempat seleksi dan menyerahkan hari itu juga. Apa yang terjadi? Tepat tanggal 6 November yang juga adalah hari ulang tahunnya, dia mendapat surat bahwa dia diterima. Bahkan kemudian menjadi reporter yang sangat agresif dan andal. Selain menjadi reporter, dia diminta untuk menulis hasil reportase reporter-reporter yang lain.
Karena prestasi kerjanya, ia ditarik masuk TEMPO, kemudian ke MATRA, lalu ke Media Indonesia dan Metro TV. Yang menarik ketika harus memilih masuk di TEMPO yang saat itu namanya sudah besar atau masuk ke Harian Bisnis Indonesia yang juga satu grup dengan Tempo. Dia memilih Bisnis Indonesia. “Waktu itu nama TEMPO dah terlalu besar. Kalau saya telepon orang dan sebuat nama Andy Noya, ditanya balik siapa Andy Noya? Kalau bilang Majalah TEMPO, langsung bilang o iya, silahkan. Begitu di Bisnis Indonesia saya telepon, saya bilang Andi Noya. Ditanya siapa Andi Noya? Saya bilang dari Bisnis Indonesia. Lalu pertanyaan lanjutan, perusahaan apa itu? Artinya, sama-sama tidak eksis…. jadi minimal aku lebih dikenallah daripada perusahaan. Aku pilih Bisnis Indonesia karena lebih menantang jadi aku pilih bisnis indonesia,” kenangnya sambil tertawa.
Sekali lagi, di mana kecocokan karakter itu? Andy merasa perjuangan hidupnya berat. Lalu ketika melalui Kick Andy dia bisa ikut mendampingi orang-orang yang hidupnya berat dan kemudian bisa kembali menemukan nilai hidup, di situ Andy menemukan kebahagiaan yang luar biasa. Ketika dia masih kuliah, tangannya sampai pegal menyalin isi buku karena tidak mampu membeli. Kini dengan kemudahan-kemudahan yang ia peroleh, dia bisa membagi-bagi buku secara gratis. Inilah karakter yang dimaksud itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar