Data hasil riset BKKBN misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja
perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan
hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus
hamil di luar nikah.
Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Hasil senada juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan
Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih
ke arah kesiapan anak menghadapi masa pubertasnya.
Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak
(SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana
mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak
terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB.
Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun
ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat
reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi
HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah
yang memicu masalah lain. Yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi
illegal.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini mungkin hanya salah satu
implikasi masalah dari sederet persoalan yang dihadapi anak dan remaja
dimasa sekarang.
Sebab akibat yang ditimbulkan seperti efek domino yang dipicu dari
habitat awal dimana seharusnya anak dan remaja ini tumbuh berkembang
dengan sehat jasmani maupun rohani, yaitu keluarga da lingkungan.
Fakta kita hadirkan dalam episode Kick Andy kali ini. Bunga (18
tahun) remaja putri yang kini berprofesi sebagai pekerja seks komersial
diantara kesibukan sekolahnya.
Gadis ini pertama kali melakukan hubungan seks saat ia masih kelas satu SMU. Tindakan kebablasan itu ia lakukan dengan pacarnya.
Setelah putus dari lelaki yang dipacarinya hanya 7 bulan itu,
bukannya menyesal dan berhenti melakukan, ia justru terjerumus menjadi
pekerja seks komersial.
Meski uang sekolah dan uang jajan dari orang tuanya selalu ada (Bunga
tidak tinggal serumah dengan orangtuanya), namun Bunga merasa masih
perlu tambahan dalam jumlah cukup besar.
Tidak hanya untuk ongkos jalan-jalan atau biaya penampilan ketika
bergaul, tetapi juga untuk membeli minuman beralkohol di café-café dan
bar tempat nongkrong bersama teman-temannya.
Dari mulut ke mulut, jaringan dibangun, seiring makin banyak “klien”
menghubunginya, bahkan diantaranya ada yang memiliki jabatan penting di
negeri ini.
Fakta menyedihkan berikutnya kita dengar dari Surabaya. Vera, remaja
putri usia 17 tahun. Dalam kondisi hamil tanpa suami, Vera bertindak
sebagai pekerja seks komersial yang mengkoordinir teman-temannya
perempuan dibawah umur.
Media massa memberitakan Vera sebagai “germo cilik” yang menjajakan
teman-temannya pekerja seks yang berusia belia. Padahal saat masih SMP,
Vera tergolong seorang siswi cerdas yang menerima beasiswa.
Tidak hanya anak atau remaja perempuan saja yang harus selalu
dikhawatirkan. Anak dan remaja laki-laki pun, harus mendapat perhatian
yang sama. Kita lihat kasus Justin (20 tahun), remaja pria yang
berprofesi sebagai pekerja seks komersial profesional. Mengapa kami
katakan demikian?
Bahkan untuk menemui ataupun menghubungi dia pun kami harus melalui
beberapa lapis perantara yang memang benar-benar kolega Justin. Hal
tersebut memang sebagai salah satu pengaman dalam transaksinya. Justin
mengakui bahwa profesi yang ia jalani saat ini tentu saja bukan profesi
yang ia bayangkan akan ia lakukan.
Tetapi bila mendengar kisah kecilnya, kita menjadi tahu (bukan
maklum!) mengapa terjerumus dalam pekerjaan itu. Menurut pengakuannya,
saat usianya 5 tahun, Justin kecil dan kawan-kawannya yang kebanyakan
berusia remaja (ia selalu berteman dengan kawan-kawan yang usianya lebih
dewasa dari usianya), sangat gemar menonton film dewasa. Berbekal
pengetahuan dari film-film itulah, ia menjadi sangat berani
meng-explorasi diri soal seks.
Tak heran, hubungan seksual pertama kali ia lakukan saat ia masih
duduk di bangku SD, dan ia lakukan dengan pacarnya seorang gadis kecil
kelas 1 SMP. Selepas SMP di Surabaya ia nekat ke Jakarta untuk sekolah
SMU, tetapi lingkungan di ibukota justru makin mematangkan imajinasi dan
fantasi tentang seks dalam otak remaja pria ini.
Ia akui, bahwa profesinya menuntut ia melayani siapapun dan apapun
yang diinginkan oleh “klien” yang membutuhkan jasanya. Tidak cuma para
wanita dewasa maupun remaja, tetapi justru kini lebih banyak “klien”
laki-laki yang menghubunginya.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan memilukan para remaja ini? Ibu
Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, membantu kita
melihat persoalan pelik ini.
Berangkat dari aktifitas YKB selama 10 tahun, Ibu Elly menjelaskan
bagaimana YKB mendata, mengkoleksi, semua laporan-laporan, juga
informasi dan berita di media massa, mengenai kasus-kasus penyimpangan
dan kekerasan seksual yang dilakukan pada dan oleh anak maupun remaja.
Beliau kemudian memberikan pemetaan persoalan bagaimana seharusnya
“bencana nasional” yang menimpa generasi muda dan mengancam ketahanan
negara ini bisa dicegah maupun di tanggulangi. Bagaimana seharusnya
keluarga berperan terutama kedua orang tua harus bertindak?
Bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap anak dan remaja di
era digital ini? Juga bagaimana seharusnya orangtua menerapkan adaptasi
teknologi yang benar dan aman dari racun “pornografi” pada anak-anaknya.
Sebagai contoh kasus, kita hadirkan Josh Peter, yang kita kenal di
dunia entertainment dengan nama Jupiter Fortissimo. Mantan Coverboy
sebuah majalah remaja yang terjebak dunia narkoba, kehidupan seks bebas,
dan bahkan mengalami disorientasi seksual.
Secara terbuka Josh Peter mengakui saat ia usia 6 tahun pernah
mengalami pelecehan seksual oleh orang dekat yang dipercaya ibunya
sebagai pengasuhnya. Ibu Josh Peter pun ikut hadir berbagi pengalaman
dengan pemirsa di studio tentang kepedihannya, juga bagaimana ia
mendampingi anaknya ketika berada dimasa-masa kegelapan hidup.
Terlepas dari apa dan dari mana penyebab semua ini berawal.
Fakta-fakta menyedihkan ini, seperti perilaku seks bebas usia dini,
kasus prostitusi anak, pelecehan seksual, kekerasan, trafficking,
hendaknya menjadi cermin bagi semua pihak, tidak hanya orangtua, tetapi
juga penyelenggara negara pun harus ikut bertanggung jawab pada
pertumbuhan kesehatan fisik maupun mental generasi muda negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar