Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said,
Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana .
Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?
Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana .
Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?
Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal
rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya.
Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib
yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya
merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika
masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum
buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang.
Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak
gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna
hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan
sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah
satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya
bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang
Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia .
Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus
meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan
Metro TV.
Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado
di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi
menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu
hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan
punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi
sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .
Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan
menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun.
Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola.
Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca
spion mobil itu patah. Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari
pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan
rasanya.
Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat
tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal
di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh
pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan
ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan
saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya
tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar
keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras
dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi
atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai
gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami ? ibu, dua kakak, dan saya ? harus bisa bertahan hidup sebulan.
gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami ? ibu, dua kakak, dan saya ? harus bisa bertahan hidup sebulan.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus
menyisihkan
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat
wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci
pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya
benci orang kaya. Untuk menyalurkan kebencian itu, sering
sayamengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya
menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks
perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung
benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang
asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya
saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya
puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang
kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal
jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak
punya hati nurani. Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado
yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan
rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan
sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu
saya utarakan kepada istri.
Dia hanya tertawa. ”Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau
gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu
sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya
bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai
wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak.
Citarasamu sudah meningkat,” ujarnya.
Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, “Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras.”
Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama
sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang
kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya
terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak
lagi sensitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang
berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong. Ketakutan itu memang
sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin
menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.
Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam
kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika
mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang
dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak
dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya
ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun,
saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua
dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain
karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam
sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa
dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan
ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang
lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas
keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan
hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara
sang anak terpaku membisu.Pucat pasi.
Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang
pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian
lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang
harus mereka pikul. Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di
posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka
rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih
kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian
yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar